Daisy...
Mr. S
“Akan tiba saatnya dimana kita harus berhenti mencintai seseorang bukan karena kita putus asa karena mencintainya, melainkan kita menyadari bahwa orang yang kita cintai akan lebih bahagia apabila kita melepaskannya.”
Bell berjalan di pinggir kantin. Hmm pagi-pagi gini enaknya makan sama nasi rames ditemani teh anget… gumam Bell dalam hati. Sambil berjalan Bell mengetik sms untuk Meli, sahabatnya.
Mel, buruan aku dah sampe. Mau pesen apa non?
Send
Sebenarnya hari ini Bell sudah sarapan tapi karena ada satu alasan lain yang membuat Bell nggak bisa nolak buat nemenin Meli dan nambah makan di kantin. Tiba-tiba ada getar di hp Bell dan cepat-cepat Bell membuka pesan tersebut.
Bentar lagi sampek. Tunggu.
Lica
Ternyata short message dari Lica, sahabatnya satu lagi. Tadi pagi waktu mau berangkat sekolah Bell udah wanti-wanti ke Lica kalo hari ini dia nggak boleh telat dateng ke sekolah. Eh, lho kok ada satu pesan lagi yah?
Ini lagi sampe di gerbang. Pesenin susu anget ma soto.
Hari ini bayarin dulu yah dompet ke tinggalan.
Meli
Heh, nie anak kok seenak udelnya nyuruh aku pesen makanan trus nyuruh aku bayar lagih… Tapi yasudlah…. Kan ada dia, pikir Bell berbunga-bunga lalu cepat-cepat ia memesan pada bu kantin.
Bell mengambil tempat duduk ditengah-tengah. Karena di pojok kantin telah duduk makhluk manis yang membuat Bell hampir tiap malam tak bisa tidur nyenyak. Makhluk itu mengenakan baju putih dan bawahan abu-abu sama seperti seragam yang dikenakannya. Memegang bolpen di tangan kanan dan tangan kirinya memegang kripik kentang dan headset menggantung di lehernya.
Uhhh, seandainya aku duduk di sampingnya, ucap Bell gemes membuatnya senyum-senyum sendiri.
“Samperin aja,” suara Meli mengagetkannya.
“Gilak!” umpat Bell
“Ketimbang elo gila gara-gara dia.”
Bell terdiam.
Ih, kalo aku punya nyali sih dari dulu dah aku samperin dia. Tapi aku mana berani. Dia’kan populer, cakep, anak osis lagi. Apa kata dunia kalo aku yang cupu gini deket-deket dia, pikir Bell.
Yah begitulah sikap Bell, pesimis dan pesimis. Jadi sahabat-sahabatnya sudah maklum dan berusaha meyakinkan kalo dia itu bisa asal usaha. Tapi karena sifatnya ini pula banyak temannya menganggapnya sombonglah, anak angkuh, males. Tapi namanya juga Bell dia malah cuek saja. Perumpamaannya nih, biarlah anjing menggonggong kafilah jalan terus! (eh, kafilah tetap berlalu ding).
Meli cuma bisa geleng-geleng kepala. Sementara Lica yang baru datang dengan diam-diam mengambil gelas yang masih penuh susu anget milik Meli, lalu menegaknya hingga habis.
“Licaaaaa!!!!!” jerit Meli begitu sadar bahwa susu angetnya telah terkuras habis.
***
Tik, tok, tik, tok, tik, tok.
Waktu seakan tak mau berhenti sedetikpun. Sementara Bell masih gundah. Samperin nggak yah? Samperin, nggak, samperin, nggak, Bell berkata dalam hati sambil menghitung kancing bajunya.
Shasta, cowok manis yang selalu diimpikan Bell dalam tidurnya maupun dalam angannya dengan anteng duduk di taman sekolah sambil membaca dan tak lupa i-pod biru tua yang selalu dia genggam.
Aduhhhh… Rintih Bell dalam hati. Tanggung ah, kalo gak sekarang kapan lagi? Bell membulatkan tekat dan berjalan ke arah kak Shasta.
Deg… Deg… Deg…
Semakin Bell berjalan semakin hatinya tidak karuan. Merah, kuning, ijo, putih pandangan Bell jadi kabur dan membayangkan yang tidak-tidak. Tiba-tiba semua penuh salju. Putih dan dingin. Dan awan-awan yang dilihat Bell semuanya berwarna pink seperti permen kapas.
“Kak Shasta…” panggil Riant gadis mungil berambut sebahu kepada Shasta yang langsung bergelayut manja dipunggung Shasta.
Krakkkkk… Hati Bell pecah berkeping-keping. Rasanya ia tak punya tenaga lagi untuk berjalan. Bell menutup mata. Tenang, tenang, Bell kamu cewek yang kuat, kamu cewek yang kuat, Bell meyakinkan dirinya. Sedetik kemudian ia berhasil menguasai dirinya. Ia berjalan melewati Shasta dan Riant dengan biasa saja. Seolah kedua orang itu adalah patung yang telah lama berdiri disana.
Dulu memang beredar gosip jika Shasta memiliki pacar tapi Bell tidak percaya dan hanya menganggapnya sebagai bualan untuk menjatuhkan Shasta dari peringkat cowok kece. Dan kali ini bukanlah lelucon karena Bell melihatnya sendiri.
***
Bell termenung di kamarnya yang dipenuhi benda-benda berbentuk unik nan berkilauan. Bell membuka laci lalu mengambil kotak kecil yang dibungkus kertas marun. Bell membuka kotak tersebut. Plat baja kecil seperti id card dengan tulisan timbul warna perak, ‘hope is in your hand’.
Bell memutar-mutar benda tersebut dan ia teringat saat pertama kali bertemu kak Shasta. Hari pertama Bell berangkat sekolah sebagai murid SMA. Bell tidak sengaja menabrak senior cowok dan terjadilah perselisihan yang hampir membuat Bell dihukum senior osisnya tapi saat itu Shasta muncul dan melerai dan tak sengaja Shasta menjatuhkan plat tersebut.
Rencananya Bell ingin segera mengembalikan benda tersebut tetapi Bell jadi ragu untuk mengembalikannya, apalagi setelah kejadian tadi siang. Bell jadi krisis kepercayaan diri.
***
Waktu terus berjalan hari Ujian pun telah berlalu hingga perpisahan pun tiba. Murid-murid SMA Kasih Bunda tempat Bell menimba ilmu selama setahun belakangan dinyatakan lulus 100%. Semua senang, bersuka cita kecuali Bell. Sudah hampir setahunan ini Bell mencoba melupakan perasaannya terhapad kak Shasta tapi semakin dilupakan semakin perasaan Bell sakit.
Hari ini adalah promnite berarti hari ini terakhir kalinya Bell ketemu kak Shasta. Tapi Bell ragu dateng nggak ke acara itu. Bell membuka kotak marun yang sedari tadi hinggap tempat tidurnya dan mengambil isinya. Berulang Bell membaca tulisan di plat besi tersebut.
“Hope is in your hand, hope is in your hand…” Tiba-tiba Bell terperanjat dari tidur-tidurannya. “Aku harus dateng ke acara itu.”
Setelah mengetik sms ke Lica dan Meli, Bell buru-buru berangkat ke sekolah tempat prom itu berlangsung.
***
“Katanya kak Shasta mau tampil lho,” Lica langsung nyerocos saat ketemu Bell“Mau bantu aku nggak?” Bell pun tak mau kalah
“Apa?” Lica dan Meli bebarengan
Dan Bell menarik kedua temannya untuk menepi dari kerumunan.
“…”
“Yakin nih?” ucap Meli
“…”
“Yakin nih?” ucap Meli
Bell mengangguk mantap.
“Nggak nyesel?” timpal Lica
“Nggak nyesel?” timpal Lica
Bell menggeleng sementara kedua temannya saling berpandangan heran.
***
Bell berjalan menuju rumahnya yang tak jauh dari halte bus. Semilir angin menerpanya. Seulas senyum ia sunggingkan.
Pertama kulihat dirimu, hal yang paling mendalam yang kurasakan adalah keberanian, kejujuran dan kehangatan dirimu. Dan itu tak berubah sampai detik ini. Bukan aku berputus asa karena menyayangimu. Tapi melihatmu bahagia membuatku ingin mencari kebahagiaanku sendiri.
***
Shasta memegang kotak kecil berbalut bungkus merah marun. Didalamnya ia menemukan plas besi dan ia sangat familiar dengan plat tersebut. Dan didalamnya ia menemukan secarik kertas kecil.
Diambilnya kertas tersebut dan dibaca olehnya. Shasta tersenyum kecil
setelah membacanya. Sedikit rasa sakit menjalar di dadanya.
0 komentar:
Posting Komentar